Masuk sebagai:
filler@godaddy.com
Masuk sebagai:
filler@godaddy.com
Berawal dari St. Benediktus
Belajar dari Peraturan Sang Guru (Regula Magistri), Kasianus, Pakomius, Agustinus dan Basilius, Benediktus (480-547) menyusun peraturan hidup senobit di biara Monte Cassino di Italia, sekitar 130 km tenggara kota Roma. Ia dikukuhkan menjadi Bapa Monakisme Barat karena regulanya diikuti hampir di seluruh Eropa.
Pada awal panggilannya Benediktus memilih bertapa sebagai eremit selama 3 tahun di sebuah gua di perbukitan Subiaco di bawah bimbingan rahib Romanus, sebagai ungkapan protesnya atas kemerosotan moral yang disaksikannya semasa ia dikirim untuk menuntut ilmu di kota Roma oleh orang tuanya. Ketaatannya akan Sabda Allah dan pembimbing rohani membuahkan hasil berupa hikmat dalam mengatasi berbagai godaan dalam menjalani hidup askesis. St. Gregorius Agung yang menuliskan riwayat hidupnya juga menguraikan berbagai keutamaan yang diperolehnya seperti dalam hal membedakan roh, pengusiran roh jahat serta berbagai mukjizat yang diperbuatnya. Dari pengalaman pribadi, Benediktus melihat hidup sebagai eremit tidaklah mudah karena banyak godaan, dan tanpa adanya pembimbing yang mumpuni rahib bisa salah jalan. Eremit diperuntukkan bagi pertapa yang mampu dan telah teruji keutamaan, diskresi dan cinta kasihnya, terutama setelah menempuh hidup berkomunitas. Ada dua jenis hidup bertapa yang tidak dianjurkannya seperti sarabait yang tinggal sendirian, berdua atau bertiga tanpa mengikuti peraturan monastik tertentu. Peraturan dan ukuran kesucian hidup ditentukan oleh mereka sendiri. Yang kedua adalah girovagi yang terlalu bebas, suka mengembara dan mengunjungi biara-biara.
Hidup senobit lebih direkomendasikan oleh Benediktus dan atas permintaan banyak rahib akhirnya iapun bergabung dan memimpin para rahib bertapa dalam komunitas. Dalam biara senobit, bahaya godaan iblis dan kesombongan diatasi oleh bimbingan seorang pemimpin suci dan berpengalaman yang disebut Abas (rahib). Untuk menjamin keamanan jiwanya, rahib perlu memiliki pegangan yaitu peraturan dan tinggal menetap di suatu tempat. Ketiga unsur tersebut mencerminkan nilai kerendahan hati, ketaatan dan pemusatan diri untuk melakukan karya ilahi (ibadat harian) dan kerja tangan. Dalam perkembangan selanjutnya, para rahib senobit memeluk kaul prasetya setia pada tata hidup kerahiban, ketaatan dan stabilitas (tinggal menetap di satu biara) yang dipilih untuk seumur hidup, bukannya untuk sementara waktu saja. Inilah yang menjadi ciri utama biara-biara monastik yang mengikuti Peraturan St. Benediktus.
Corak hidup biara pengikut Benediktus tercermin dari praktik-praktik hidup yang tertuang dalam Peraturannya. Ada dua macam kearifan yang terkandung dalam peraturan ini: spiritual (bagaimana menjalani hidup yang Kristosentris di bumi) dan administratif (bagaimana mengelola sebuah biara). Lebih dari setengah isi Peraturan memaparkan cara-cara untuk menjadi taat dan rendah hati dan petunjuk sanksi jika melanggarnya. Sekitar seperempat bagiannya mengatur tata peribadatan (Opus Dei). Sebagian lagi menjelaskan bagaimana dan oleh siapa biara harus dikelola. Disinggung pula secara khusus tentang kewajiban-kewajiban pastoral dari seorang abas atau pemimpin biara.
Syarat untuk memeluk kerahiban yang diuraikan dalam prakata Peraturan menjadi ciri dan sarana hidup yang mewarnai monakisme Benediktin ini, sekurang-kurangnya meliputi beberapa hal: ketaatan kepada abas dan Kristus sang Raja dan bertekun tinggal di dalam pengajarannya di biara; kerendahan hati dan tidak menyombongkan kebaikannya; melakukan keutamaan di bawah bimbingan Injil, melepas kehendak diri dan kemalasan dalam memenuhi kewajiban 'penghuni' (berdoa dan bekerja bersama), menjaga lidah dan bibir dari ucapan jahat, menipu, menimpakan cela tetapi berbicara baik dan penuh perdamaian, bertobat setiap kali jatuh; doa minta kekuatan Allah; mampu melihat cahaya ilahi, mendengar dan mengikuti petunjuk-petunjuk suci atau suara ilahi/Roh Kudus.
Menurut Benediktus, Peraturannya yang disusunnya merupakan pegangan bagi hidup membiara yang disebutnya sebagai sekolah pengabdian Tuhan. Berbeda dengan peraturan-peraturan monastik sebelumnya, Peraturannya tergolong moderat dan seimbang, tidak terlalu keras namun juga tidak lunak begitu saja. Ia memahami psikologi para rahibnya tidak selalu sama kekuatan dan daya juangnya dalam memberantas cacat-cacat rohani yang melekat, dan sekaligus tetap mempertahankan cinta kasih, dan menjamin hati menjadi lapang dan merasakan kemanisan kasih yang tak terungkapkan dan membawa kepada jalan menuju kerajaan sorga (Prakata ay. 45-50).
Dari masa ke masa, Peraturan Santo Benediktus menjadi dasar spiritualitas pengikutnya dengan menyesuaikannya dengan kondisi dan kebutuhan pada jamannya. Untuk itu para rahib Benediktin tidak bisa lagi menerapkan secara harafiah setiap hal yang ditulis oleh Benediktus pada abad keenam di Italia tersebut. Semangat dasar dan jiwa Peraturan selanjutnya ditafsirkan dalam bentuk anggaran dasar yang disesuaikan dengan situasi jaman dan tempat. Mereka memusatkan perhatian pada nilai-nilai umum yang tersirat dari Peraturan seperti: ketaatan kepada seorang Abas, pemisahan dari dunia, hidup bersama dan terikat dalam satu komunitas, membuat pertimbangan atas hal penting atau masalah secara bersama, menghargai setiap pribadi tanpa diskriminasi, mendengarkan dengan hati, martabat kerja tangan, keramahan dalam menerima tamu, pengelolaan harta benda dengan bijaksana, hidup dalam keutamaan dan kebiasaan baik, sikap tahu batas, kepemilikan bersama dengan tetap menghormati individu, menjunjung tinggi keadilan.
Ordo Trappist
Selama 500 tahun, biara-biara Benediktin berkembang pesat di Eropa Barat. Biara-biara menjadi pusat-pusat ilmu pengetahuan dan kebudayaan di daratan Eropa. Situasi seperti itu menuntut banyak penyesuaian dalam tata hidup kerahiban yang semakin lama semakin berbeda dari semangat asli St. Benediktus, misalnya dalam hal penghayatan semangat kemiskinan, kesunyian dan pemisahan dari dunia. Tentu saja penyesuaian semacam itu tidak dapat sepenuhnya disalahkan, sebab sebagai bagian dari Gereja para rahib juga dipanggil untuk menjawab kebutuhan Gereja dan dunia. Namun tidak salah pula bahwa sebagian dari mereka menghendaki untuk tetap menjalankan hidup kerahiban sesuai dengan semangat asli St. Benediktus dengan tetap menjunjung tinggi semangat kemiskinan, kesunyian dan pemisahan dari dunia.
Dalam konteks inilah Ordo Cisterciensis dilahirkan. Cisterciensis berasal dari kata Citeaux, sebuah nama untuk hutan rimba, yang terletak di sebelah selatan Dijon, Perancis. Di hutan Citeaux itulah sekelompok rahib dari biara Benediktin Molesme pada tahun 1098 mendirikan sebuah biara baru dengan cita-cita untuk menghayati semangat Peraturan Santo Benediktus seasli mungkin. Biara baru itu kemudian disebut sebagai biara Citeaux. Sekelompok rahib tersebut dipimpin tiga tokoh yang dikemudian hari berturut-turut menjadi abas, mereka adalah Robertus, Alberikus dan Stephanus. Setelah mengalami masa-masa sulit pada tahun-tahun awal berdirinya, komuitas Citeaux akhirnya mampu menjalankan hidup kerahiban secara normal, bahkan berkembang dengan melahirkan biara-biara anak di tempat lain. Citeaux bersama anak-anaknya membentuk sebuah Ordo baru yang bernama Ordo Cisterciensis.
Pesatnya perkembangan tersebut tak dapat dilepaskan dari pribadi pemuda Bernardus yang bergabung ke Citeaux bersama 30 orang kerabatnya. Pribadinya yang menarik dan kemampuannya berkhotbah dan menulis menarik minat banyak pemuda untuk bergabung dengan Ordo baru tersebut. Hanya dalam hitungan beberapa dekade saja, Ordo Cisterciensis telah berkembang di segenap penjuru Eropa dengan ratusan biara-biara baru yang didirikan.
Ordo baru yang tergolong memiliki tata hidup yang keras ini justru menarik banyak panggilan baru. Perkembangan ordo yang melesat tersebut bukannya tanpa membawa tantangan. Besarnya ordo membuat pengorganisasian dan pengawasan menjadi sulit. Ketenaran biara-biara ordo mengundang kaum bangsawan yang bermurah hati untuk membanjiri mereka dengan derma-derma, sekaligus dengan tuntutan keterlibatan dengan dunia yang lebih banyak. Cita-cita untuk untuk menghayati semangat asli Santo Benediktus dipertaruhkan.
Sejak abad XIV kemerosotan mulai menggerogoti Ordo. Kecemerlangan Cisterciensis mulai memudar. Kemerosotan ini antara lain juga disebabkan oleh wabah penyakit pes, peperangan-peperangan, skisma dan timbulnya Reformasi Protestan. Meskipun demikian, selalu ada biara yang ingin membaharui diri. Dalam abad XVII ada biara-biara yang ingin kembali ke semangat asli dan menamakan diri biara-biara Observansi Ketat. Salah satu di antaranya adalah biara La Trappe yang dari tahun 1664-1700 dipimpin oleh Abas de Rancé. Semangat pembaharuan biara La Trappe mempunyai pengaruh besar terhadap biara-biara lainnya di Perancis.
Revolusi Perancis pada akhir abad XVIII mengakibatkan hampir semua biara di Perancis dan di negara lain di Eropa disapu bersih oleh Napoleon. Sesudah jatuhnya Napoleon para rahib yang masih bertahan mendirikan biara-biara lagi. Kemudian para rahib yang melanjutkan pembaharuan La Trappe lebih dikenal sebagai rahib Trappist. Sebagian lagi yang tidak mengikuti pembaharuan La Trappe juga hidup kembali. Dengan demikian dewasa ini ada dua Ordo Cisterciensis, yaitu: Sacer Ordo Cisterciensis (S.O.Cist) yang juga disebut sebagai Ordo Cisterciensis Observansi Umum, dan Ordo Cisterciensis Strictioris Observantiae (OCSO) atau Ordo Cisterciensis Observansi Ketat, yang juga dikenal sebagai Ordo Trappist. Kedua Ordo tersebut terdiri dari biara-biara rahib dan biara-biara rubiah. Dengan kata lain kedua Ordo terdiri dari dua cabang, cabang pria dan cabang wanita.
Uraian ringkas semangat hidup Trappist dapat anda temukan dalam beberapa kutipan Konstitusi Ordo pada halaman muka website ini.
Tata Hidup Trappist
Hidup para rahib Trappist adalah hidup yang dikuduskan bagi Allah dan diungkapkan dalam persatuan persaudaraan, dalam kesunyian dan diam diri, dalam doa dan kerja, dan juga dalam tertib hidup. Kesuburan kerasulan mereka yang tersembunyi turut serta dalam memperkaya Gereja sebagai tubuh mistik Kristus.
Dengan mengucapkan kaul kerahibannya, seorang rahib dikuduskan kepada Allah dan digabungkan dengan komunitas yang menerimanya. Dengan demikian pengudusan yang telah diterimanya pada waktu pembaptisan dan krisma diperbaharui dan dihidupkan kembali. Dengan berjanji setia dalam penggabungan tepat, seorang rahib mewajibkan dirinya untuk bertobat sungguh-sungguh dalam ketaatan sukarela hingga akhir hayatnya.
Rumus ketiga kaul yang diucapkan oleh seorang rahib Trappist seturut dengan tradisi Benediktin adalah penggabungan tetap dalam komunitas (stabilitas), tata hidup kerahiban (conversatio morum) dan ketaatan (obedientia).
Oleh kaul penggabungan tetap dalam komunitasnya, seorang rahib sambil percaya kepada penyelenggaraan Allah yang memanggilnya datang ke biara dan ke dalam persekutuan para saudara, mewajibkan diri untuk menjalani hari-hari hidupnya sebagai rahib. Ia wajib dengan setia memanfaatkan setiap latihan rohani yang tersedia disitu sampai akhir.
Dengan mengucapkan kaul tata hidup kerahiban, seroang rahib mewajibkan diri untuk memenuhi tertib hidup Cisterciensis dalam mencari Allah dengan hati sederhana di bawah bimbingan Injil. Ia tidak menyisihkan sesuat pun bagi diri sendiri dan tidak lagi berkuasa bahkan atas tubuhnya sendiri. Ia melepaskan bahkan kemampuan untuk memperoleh dan memiliki harta benda bagi dirinya sendiri. Ia juga menyatakan dirinya bertarak sempurna dalam selibat demi kerajaan surga.
Melalui kaul ketaatan, seorang rahib, yang menginginkan hidup di bawah suatu peraturan dan seorang abas, berjanji akan memenuhi segala hal yang diperintahkan kepadanya oleh para pemimpin yang sah. Dengan mengingkari kehendak sendiri seperti itu, ia mengikuti teladan Kristus yang taat sampai mati, dan menyerahkan diri kepada sekolah pengabdian Tuhan.
Para rahib yang menjalani hidup bersama dalam sebuah biara hendaknya mengindahkan hukum hidup bersama: kesatuan roh dalam kasih Allah, ikatan damai dalam kasih timbal balik terus-menerus antara semua saudara dan berbagi dalam penggunaan harta benda duniawi. Mereka hendaknya bertekad untuk menanggung kelemahan sendiri dengan sangat sabar dan saling melayani dengan rendah hati.
Kesatuan para rahib dalam komunitas yang merupakan tubuh mistik Kristus itu dibentuk melalui persaudaraan yang dijiwai oleh kerelaan untuk saling membagikan anugerah rohani yang diterima menurut karunia Allah yang beranekaragam. Kesatuan dipelihara dengan membina usaha yang jujur dan timbal balik untuk saling berdamai. Oleh karena itu supaya duri sandungan dapat disingkirkan dari komunitas, para saudara hendaknya tidak menyimpan amarah, tetapi segera berdamai kembali dengan saudaranya bilamana terjadi perselisihan.
Perayaan-perayaan liturgi Gereja memegang peran amat penting dalam kemajuan rohani hidup setiap rahib. Dalam perayaan liturgi tujuan rohani komunitas tampak secara khusus, kesadaran batin akan panggilan monastik dan persatuan para saudara dikokohkan dan berkembang. Dalam liturgi, teristimewa dalam Ibadat Harian dan Perayaan Ekaristi, setiap Sabda Allah didengarkan dan kurban pujian dipersembahkan kepada Allah Bapa, misteri Kristus dihayati dan karya penyucian Roh Kudus diselenggarakan. Dengan mengambil bagian dalam Perayaan Ekaristi setiap hari para rahib digabungkan dalam misteri Paskah Kristus dan disatukan lebih erat satu sama lain dan dengan seluruh Gereja.
St. Benediktus dari Nursia
Hak Cipta © 2023 Trappist Lamanabi - Semua Hak Dilindungi Undang-undang.
Kami menggunakan cookie untuk menganalisis lalu lintas situs web dan mengoptimalkan pengalaman situs web Anda. Dengan menerima penggunaan cookie, data Anda akan dikumpulkan bersama data pengguna lainnya.