Inilah aku, utuslah aku...

Melalui bacaan pertama, ditampilkan nabi Yesaya yang terpana oleh penglihatan akan makhluk surgawi, yakni para serafim yang sedang menyerukan pujian akan kekudusan Tuhan. Di hadapan kemahakudusan itu ia merasa dirinya kotor, najis bibir. Pantaslah bahwa ia seharusnya ia mati menyaksikan penampakan itu. Demikianpun dalam bacaan Injil, Simon baru saja menyaksikan keajaiban dan kebesaran Tuhan setelah menuruti kata-kata Yesus tentang menjala ikan. Saat itu pula ia merasa diri pendosa dan mohon agar Yesus, yang kini disapanya dengan ‘Tuhan’ (tadinya ‘guru’), supaya menjauh. Yesaya dan Simon sama-sama diliputi pengalaman berdekatan dengan yang ilahi dan sama-sama merasa tidak pantas.

LECTIO DIVINA

Rm. Klemens Silatama, OCSO

2/9/20253 min baca

Saudara-saudari yang terkasih,

Melalui bacaan pertama, ditampilkan nabi Yesaya yang terpana oleh penglihatan akan makhluk surgawi, yakni para serafim yang sedang menyerukan pujian akan kekudusan Tuhan. Di hadapan kemahakudusan itu ia merasa dirinya kotor, najis bibir. Pantaslah bahwa ia seharusnya ia mati menyaksikan penampakan itu. Demikianpun dalam bacaan Injil, Simon baru saja menyaksikan keajaiban dan kebesaran Tuhan setelah menuruti kata-kata Yesus tentang menjala ikan. Saat itu pula ia merasa diri pendosa dan mohon agar Yesus, yang kini disapanya dengan ‘Tuhan’ (tadinya ‘guru’), supaya menjauh. Yesaya dan Simon sama-sama diliputi pengalaman berdekatan dengan yang ilahi dan sama-sama merasa tidak pantas.

Namun kedua-duanya juga mendapatkan pengalaman dikuatkan. Yesaya yang merasa najis bibir dibersihkan. Mulutnya disentuh dengan bara dari Mesbah sehingga bersihlah mulutnya. Yang kotor dibakar dan kesalahannya dihapus. Sedangkan kepada Simon Yesus berkata, “Jangan takut!” Sapaan itu membangkitkan keberanian dalam diri Simon. Kedua tokoh itu merasa lega dan diberi keberanian untuk tetap hadir di hadapan yang ilahi tanpa rasa takut. Dengan bekal ini mereka mampu melakukan sesuatu. Yesaya mau diutus mewartakan Sabda Allah, dan ia berani berkata, “Ini aku, utuslah aku!” Simon meninggalkan segala sesuatu dan mengikuti Yesus sepenuhnya.

Kita akan merenungkan perutusan yang diberikan oleh Yesus kepada Simon untuk menjadi penjala manusia. Di hadapan Simon yang merendahkan dirinya Yesus berkata, “Jangan takut, mulai dari sekarang engkau akan menjala manusia.” Menurut para penafsir, ungkapan “engkau akan menjala manusia” dapat dimengerti sebagai “engkau akan bekerja menangkap manusia-manusia untuk membawa mereka kepada kehidupan.”

Seringkali ungkapan menjala manusia kita salah mengerti menjadi menjaring orang sebanyak-banyaknya dan menjadikan mereka kristen. Padahal kata-kata Yesus tersebut mempunyai makna yang jauh lebih luas. Kata-kata tersebut berisi perintah kepada Simon agar merenggut umat manusia dari kuasa maut. Seakan-akan manusia berada dalam ketegangan tarik menarik antara kuasa maut (setan) dengan kuasa kehidupan (Allah). Simon mewakili para murid, para pengikut Kristus. Ia juga mewakili gereja. Maka tugas kita sebagai gereja antara lain adalah mencegah sebanyak mungkin orang berjalan menuju kematian, merebut mereka agar berbalik kepada Tuhan. Apa maksudnya? Kematian dapat dimengerti sebagai: kemelaratan, kebodohan, ketidakadilan, penindasan, perpecahan, permusuhan, dendam, egoisme dan seterusnya. Kita masih bisa menambah panjang deretan tersebut. Menangkap manusia agar tak jatuh dalam kematian mengandaikan menciptakan budaya kehidupan di tengah-tengah masyarakat: mengurangi kemiskinan, menciptakan keadilan, memberikan kebebasan, mengusahakan perdamaian, menyuburkan persaudaraan. Sekali lagi daftar ini masih bisa kita perpanjang. Dalam hidup kongkret sehari-hari, usaha tersebut dapat diwujudkan dalam: membantu tetangga yang mengalami kesulitan, mencari nafkah dengan sewajarnya tanpa mengganggu rezeki orang lain, memaafkan saudara yang bersalah, tidak gampang menaruh curiga terhadap sesama dan lain sebagainya. Pendeknya, membantu saudara-saudara kita untuk sampai pada tingkat dimana hidup sungguh-sungguh disyukuri dan bukannya dikutuki.

Saudara-saudari yang terkasih, Simon tidak diutus sebelum ia mengalami hidup bersama Yesus, sebelum ia mengalami kebaikan Tuhan dan sekaligus menyadari kelemahan dirinya. Kesadaran diri lemah namun tetap dipergunakan Tuhan sebagai alatnya telah meneguhkan Yesaya, Simon dan banyak orang lain dalam pelayanan. Mengalami hidup bersama Yesus berarti menyadari semua kebaikan, anugerah-anugerah Tuhan dan campur tangan-Nya dalam hidup kita. Kita mungkin akan mengatakan, saya tidak pernah mengalaminya, saya tidak pernah merasakannya. Kenyataannya hidupku lebih banyak susah dari pada sukanya. Tetapi apakah itu betul? Jangan-jangan itu karena kita tidak mau merasakan kebaikan Tuhan, atau salah memberi kriteria pada kebaikan Tuhan itu. Kebaikan Tuhan dalam wujud kecil-kecil namun kontinyu seringkali tidak kita sadari. Udara segar yang boleh kita hirup tiap hari, kesehatan yang relatif baik, makanan yang masih mudah kita peroleh, sahabat-sahabat yang masih menyapa kita tiap hari… atau rasa humor yang masih dapat membuat kita tertawa. Itu semua tampaknya memang normal-normal saja, biasa, sudah seharusnya begitu. Namun justru itulah yang membuat kita mampu bertahan hidup. Jelas itu semuanya tanda kebaikan Tuhan. Tidak adil kalau kita menilai Tuhan itu baik hanya jika semua doaku dikabulkan, kalau semua penyakitku disembuhkan, kalau aku tidak perlu memeras keringat mencari nafkah, atau kalau tidak ada orang yang menyakitiku.

Bagaimana mungkin kita dapat menangkap manusia dan membawanya kepada kehidupan kalau kita sendiri masih terjerat dalam belenggu ketidaksadaran yang kita ciptakan sendiri? Bagaimana kita bisa menyadarkan saudara kita untuk bersyukur apa bila kita sendiri tidak bisa menyadari kebaikan Tuhan dan mensyukurinya?

Saudara-saudari terkasih, inilah panggilan hidup kita sebagai pengikut Kristus: Sekalipun kita lemah, kecil, tidak memiliki jasa apa pun, Tuhan tetap mengasihi kita dan tetap melimpahkan kebaikannya kepada kita. Kita mungkin tidak mampu menghapus kemiskinan, menyingkirkan ketidak adilan, mendamaikan perang atau menyembuhkan segala penyakit. Namun sekurang-kurangnya Tuhan meminta kita agar mengajak orang lain untuk selalu hidup dalam syukur atas berkat-berkat Tuhan serta membagikan berkat-berkat itu bagi siapa saja. Hidup kadang-kadang memang sulit, sehingga ada bahaya kita tidak lagi bisa melihat masih ada hal yang bisa disyukuri. Dan bila kita tidak bisa bersyukur maka kita juga tidak bisa berbagi. Inilah salah satu segi yang dapat kita renungkan atas perutusan kita untuk menjadi penjala manusia, untuk bekerja menangkap manusia-manusia dan membawa mereka kepada kehidupan, pada hidup yang bisa disyukuri. Amin.

Inilah aku, utuslah aku...