Masuk sebagai:
filler@godaddy.com
Masuk sebagai:
filler@godaddy.com
Trappist, Bukan Terapis
Nama ‘Trappist’ memang dengan mudah dipelesetkan tanpa sengaja menjadi ‘Terapis’. Kekeliruan ini sering terjadi sebab kita memang lebih sering mendengar kata ‘terapis’ daripada 'Trappist'. Meskipun mirip, kedua kata tersebut tidak berhubungan satu sama lain. Nama Trappist berasal dari nama sebuah biara di Perancis ‘La Trappe’. Pengikut aliran corak bertapa di biara La Trappe tersebut lama kelamaan disebut para rahib ‘Trappist’. Dengan demikian, biara Trappist bukanlah tempat dimana kami membuka jasa pelayanan penyembuhan, entah untuk penyakit lahir maupun batin, dengan suatu metode pengobatan tertentu.
Biara Trappist merupakan sebuah komunitas para rahib yang menghabiskan waktu mereka secara tersembunyi untuk memuji Allah, berdoa, bekerja dan saling melayani antar mereka. Meskipun demikian kami terbuka untuk menerima setiap tamu yang datang. Kami menyediakan tempat dan suasana doa bagi siapa saja yang ingin berdoa bersama kami atau secara pribadi. Dengan cara inilah kami berharap agar siapa saja yang datang akhirnya berjumpa dengan Allah Sang Penyembuh Agung, yang mampu memberikan apa saja sesuai dengan yang dikehendaki-Nya. Dengan demikian Allah sendirilah Sang Terapis itu, bukannya para rahib Trappist yang kebetulan mempunyai nama yang mirip seperti itu, jika terjadi belas kasih Allah yang menyembuhkan.
Di Sebuah Bukit
Pertapaan yang berdiri sejak tahun 1998 ini dibangun di atas sebidang tanah di desa Lamanabi, kecamatan Tanjung Bunga, kabupaten Flores Timur, provinsi Nusa Tenggara Timur. Tepatnya terletak sekitar 40 kilometer di sebelah barat daya kota Larantuka. Jika ujung timur Pulau Flores seringkali disebut sebagai kepala naga, maka kami adalah matanya, seperti tergambar dalam peta kecil di halaman ini. Lokasinya berada di ketinggian sekitar 500 meter dari permukaan laut. Jika anda melakukan perjalanan menuju Lamanabi dari kota Larantuka, maka anda akan menyusuri sepanjang tepi pantai sebelum akhirnya berbelok di desa Beloaja untuk mendaki perbukitan melalui jalan berliku-liku. Terdapat beberapa tikungan ekstrem disertai tanjakan tajam. Diperlukan kehati-hatian untuk melewati jalur ini. Meskipun demikian, kita akan dijamu pemandangan yang menakjubkan bilamana kita memalingkan kepala ke arah laut.
Anda akan disambut padang ilalang menghijau saat mencapai puncaknya. Tetumbuhan lebat menghijau yang menyelimuti bukit-bukitnya membuat suasana di desa Lamanabi terasa menyegarkan untuk ukuran Flores Timur pada umumnya. Air yang melimpah sepanjang tahun dari sumber mata air pegunungan merupakan berkah tersendiri bagi kami dan warga desa Lamanabi. Tidak mengherankan bahwa aneka tanaman budidaya dapat tumbuh subur disini, entah itu berupa sayur mayur, buah-buahan atau tanaman keras lainnya.
Awal Mulanya
Gagasan mendirikan pertapaan Trappist di keuskupan Larantuka bermula dari keinginan bapak uskup Larantuka Alm. Mgr Darius Nggawa, SVD. Pada tahun 1983 beliau secara tertulis mengundang Abas Pertapaan Rawaseneng, Alm. Romo Frans Harjawiyata, untuk membuka fundasi Pertapaan Rawaseneng di dusun kecil Lamanabi. Lamanabi dalam bahasa Lamaholot secara harafiah berarti kelompok suku (lama) yang bermukim di bukit (nabi/nubi). Bukit bagi warga asli, merupakan tempat ritual kurban untuk berbakti kepada Wujud Tertinggi (Allah), maka Lamanabi mendapatkan arti simbolik sebagai Bukit Kurban.
Berhubung Rawaseneng sedang sibuk menyiapkan berdirinya biara suster Trappist di Gedono, Salatiga, Jawa Tengah, maka Rawaseneng baru dapat menanggapi secara aktif permintaan Bapak Uskup Larantuka lewat tujuh kunjungan survei Romo Abas Frans dan beberapa anggota pertapaan Rawaseneng lainnya ke Lamanabi. Kunjungan-kunjungan itu berlangsung antara tahun 1988 hingga 1995.
Karena dirasa belum siap mendirikan fundasi langsung di Lamanabi, Romo Abas Frans memutuskan untuk memulai dengan membuka Biara Aneks (semacam tempat tinggal sementara) lebih dahulu, dengan mengutus empat rahib ke Larantuka. Pada tanggal 12 Desember 1995 mereka berangkat dan menempati sebuah rumah kontrakan di kelurahan Sarotari, Larantuka. Keempat saudara tersebut ialah: Fr David Darius Bue, Fr Dominikus Dadu Hayon, Rm Mikael Santana dan Fr Petrus Migu Hayon. Pada 15 Oktober 1996 Kapitel Umum Ordo meresmikan Lamanabi sebagai fundasi Rawaseneng.
Upacara Peletakan Batu Pertama pembangunan pertapaan tahap pertama di Lamanabi yang dipimpin oleh Mgr Darius Nggawa dilangsungkan pada 9 Juni 1997. Baru pada 14 September 1998 keempat rahib biara Aneks tersebut dapat pindah dari Sarotari ke Lamanabi. Dan pada 29 September 1998 mereka sudah dapat mulai menjalankan hidup regular secara resmi. Oleh karena itu 29 September dianggap sebagai hari jadi Fundasi Lamanabi.
Dalam Kapitel Umum Ordo November 1999 yang dilangsungkan di Lourdes Perancis, Lamanabi diizinkan untuk mulai membuka novisiat. Dan dalam Kapitel Umum Oktober 2005 yang dilangsungkan di Assisi Italia, status Pertapaan Lamanabi ditingkatkan dari fundasi menjadi keprioran sederhana. Upacara pengangkatan keprioran sederhana dijatuhkan pada tanggal 8 Desember 2005. Rm Mikael Santana, OCSO yang sedari awal memimpin kelompok kecil para rahib tersebut terpilih menjadi Prior Pertapaan Lamanabi yang pertama.
Hidup Sehari-hari
Gambaran umum hidup sehari-hari yang kami hayati diwarnai oleh tiga latihan utama yang menopang seluruh kehidupan para rahib Trappist. Doa bersama, bacaan suci dan kerja tangan menjadi tiga latihan dasar yang sejak zaman dahulu membentuk hidup rahib. Bersama-sama dalam sebuah komunitas, para rahib mengambil bagian dalam ibadat liturgis gerejani, yang disebut Ibadat Harian. Sebagai bagian dari Gereja, mereka bertugas menampakkan wajah Gereja yang berdoa. Ibadat Harian dipraktekkan dalam wujud tujuh kali doa bersama di Gereja yang sudah dimulai sejak pukul 3.30 dini hari. Dengan Perayaan Ekaristi sebagai puncaknya, aktivitas harian para rahib ditutup dengan Ibadat Harian pada pukul 19.45.
Ibadat Harian hanya akan membawa kesuburan rohani jika dijiwai secara pribadi. Oleh karena itu setiap rahib harus meluangkan waktu untuk berdoa secara pribadi. Doa liturgis yang dijiwai oleh doa pribadi menjadi sarana untuk memelihara dialog terus-menerus dengan Allah.
Dibutuhkan kemampuan dan sikap mendengarkan untuk dapat berdialog dengan Allah. Latihan mendengarkan itu diwujudkan secara khusus dalam bacaan suci atau Lectio Divina. Lectio Divina merupakan kegiatan membaca yang bermuara kepada doa. Seorang rahib dituntun untuk membaca teks, meresapkannya dalam hati dengan cara mengulang-ulang lalu mengucapkan doa sebagai jawaban atas sentuhan rahmat yang diperoleh melalui teks tersebut. Tentu saja Kitab Suci menjadi bahan utama Lectio Divina.
Rahib tentu saja tidak dapat hidup hanya dengan berdoa. Rahib harus bekerja juga. Pekerjaan para rahib terutama ditujukan untuk mencari nafkah yang diperlukan untuk hidup sehari-hari. Menurut St. Benediktus, rahib harus hidup dari hasil keringatnya sendiri, bukan dari bantuan atau derma orang lain. Kerja dilihat pula sebagai suatu pelayanan dan pengabdian bagi sesama saudaranya sebiara.
Beberapa pekerjaan untuk mencari nafkah diusahakan oleh para rahib. Di Lamanabi kami mengusahakan pembuatan lilin, bercocok tanam buah-buahan dan sayuran, membuat roti, membuka toko benda-benda devosional, menyediakan penginapan bagi para tamu untuk retret dan lain-lain. Dengan aktivitas tersebut biara juga membuka kesempatan bagi warga sekitar untuk turut bekerja bersama para rahib sebagai karyawan-karyawati.
Mengingat ciri dan hakikat panggilannya, para rahib tidak ditugaskan untuk mengadakan pelayanan pastoral kepada umat. Mereka tidak mengelola paroki, sekolah atau pelayanan karitatif semacam itu. Tentu saja sejauh mampu dan memungkinkan, para rahib dapat membantu para tamu yang datang, entah dalam bentuk bimbingan rohani atau konsultasi, yang semuanya hanya dilakukan dalam lingkup pertapaan.
Adapun jadwal acara sehari-hari para rahib di Pertapaan Lamanabi adalah sebagai berikut:
Pada hari Minggu dan hari Raya Liturgi Perayaan Ekaristi dirayakan pada pukul 8.00 dan sesudah Ibadat Sore diadakan Pentahtaan Sakramen Mahakudus sebagai pengganti meditasi selama 30 menit.
Hak Cipta © 2023 Trappist Lamanabi - Semua Hak Dilindungi Undang-undang.
Kami menggunakan cookie untuk menganalisis lalu lintas situs web dan mengoptimalkan pengalaman situs web Anda. Dengan menerima penggunaan cookie, data Anda akan dikumpulkan bersama data pengguna lainnya.